Kamis, 30 Oktober 2014

Tik.. Tok..

Ada yang pernah mendengarkan bunyi jarum jam berdetak, tik tok.. tik tok.. bunyinya dua dan tidak pernah sama “tik” dan “tok”. Walaupun keduanya tidak pernah berbunyi bersamaan tapi bunyi itu selalu bergantian sabar, selaras dan seirama. Teratur dan tertib membuat yang mendengarkan dan melihatnya yakin kalau waktu masih terus berputar dan jarum jam itu akan selalu menunjukkan di waktu mana kita, apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus kita dapatkan...

Membaca headline sejumlah media cetak dan online hari ini cukup membuat hati merasa kesal dan sedih. Menurut berita sekarang di gedung perwakilan rakyat masih ribut masalah posisi kepemimpinan. Fenomena apa ini? Lucu sekaligus bikin kesal bacanya. Mereka itu tanggal 9 April 2014 yang lalu dipilih oleh seluruh Warga Negara Indonesia yang sudah memenuhi syarat dan sukarela menggunakan hak pilihnya untuk mengantarkan ke kursi Dewan Yang Terhormat. Nah lho, apa yang terjadi sekarang? baru beberapa minggu dilantik sudah bikin geger. Rupanya mereka yang sudah diantarkan itu tidak cukup bijak dan dewasa untuk mengatur diri sendiri di “rumah”nya. Mau duduk dimana saja pake acara rebutan. Padahal mau duduk sebagai Pimpinan pun mereka ya tetap tidak lebih sebagai perwakilan rakyat saja. Masih bagus perwakilan itu disebut Dewan yang Terhormat, lah yang diwakili apa disebutnya? Disebutnya tetap rakyat, kaum, tetap kecil kan?.
Kalau Almarhum Gusdur bilang anggota DPR itu kayak anak TK rasanya anak TK juga masih bagus, setidaknya mereka itu memiliki rasa saling yang positif. Saling berbagi yang baik. Kalau sekarang lihat mereka saling menyerang satu sama lain, jadi sama saja. Semua pihaknya sama, sama-sama haus kekuasaan. Apa yang mereka perjuangkan selain kepentingan politiknya sendiri? Apa yang mereka pertahankan selain ke-arogansianya sendiri? Kalau mereka saja tidak saling percaya satu sama lain, lalu bagaimana masyarakat percaya mereka? Biar masyrakat sendiri yang menilai katanya, nah kalau kayak begini berantem rebutan posisi, mau minta penilaian seperti apa?

Masalah di DPR bukan masalah bangsa, itu hanyalah masalah kelompok elit yang tidak berkebangsaan dan lupa etikanya. Karena bangsa ini adalah bangsa yang besar karena nilai luhurnya. Yang adalah bangsa ini pastinya adalah yang berperilaku seperti apa yang diajarkan dalam nilai kebangsaan. Seperti yang digambarkan dalam Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Saling menghormati, menghargai dan mengedepankan musyawarah. Semua demi tujuan keadilan sosial, kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Tapi kalau masalahnya di DPR sampai ada rebutan kekuasaan dan bikin tandingan segala itu seperti apa ya? Apa yang mereka khawatirkan selain posisinya dan kelompoknya?, adakah kepentingan rakyat didalamnya? adakah kepentingan bangsa yang benar-benar bangsa Indonesia? Ah, tunggu dulu kita lihat drama gedung pura-pura eh kura-kura maksudnya, sampai lima tahun kedepan. Kita lihat seberapa responsif dan gigih mereka memperjuangkan hak-hak rakyat, apakah sama gigihnya seperti sekarang ini. Adakah nanti yang sampai menggulingkan meja demi memperjuangkan agar anak terlantar dan fakir miskin benar-benar dipelihara negara.

Dibandingkan segera bekerja dan mulai putar otak untuk memperbaiki nasib bangsa serta membuat undang-undang yang berkualitas rasanya anggota dewan sekarang ini masih sangat asyik memainkan peran watak mereka. Coba saja kalau Bung Karno dan Bung Hatta masih hidup dan menyaksikan kisruhnya politik di DPR saat ini, seperti apa rekasinya. Mungkin Pak Karno akan bilang “Kill them all !” sambil mengacungkan jari telunjuknya ke muka para anggota Dewan itu. Hahaha, just imagine...

Itu karena mereka tidak mampu melepaskan baju partainya ketika sudah duduk di DPR. Mereka harusnya sadar tanpa masyarakat yang memilih tidak mungkin mereka ada disana. Parpol hanya sarana, kepentingan rakyatlah tujuanya. Jangan sampai karena mempertahankan sebuah sarana sampai mengorbankan tujuan. Manuel L Quezon, Presiden Persemakmuran Filipina (1935-1944) pernah mengatakan: “My loyalty to my party ends when my loyalty to my country begins.“  Harusnya mantra sakti ini dibaca, dihafal dan diamalkan Anggota Dewan. Sudahlah Pak, Bu yang duduk di Singgasana Dewan, sudahi kemelut kalian. Tanggalkan warna baju kalian dan duduklah bersama atas nama bangsa Indonesia. Atas nama kepentingan bangsa Indonesia dan gantian antarkan kami menuju sejahtera.


Kalau pun dua kubu tetap tak mau meninggalkan warnanya, setidaknya mereka berjalan seperti jarum jam “tik” dan “tok” yang walapun tak berjalan beriringan tapi bunyi saling mengisi. Membuat suatu jaminan pada akhirnya akan mengantarkan kita pada suatu massa kedapan bukan kebelakang.

Senin, 27 Oktober 2014

Postingan Pertama dan Sumpah Pemudiku

28 Oktober 2014

Selamat hari Sumpah Pemuda, heii kalian Pemuda dan Pemudi Indonesia.. Semangat berkreasi dan berkarya.

Sekitar tujuh tahun yang lalu, saya masih ingat betul ketika bangun subuh dan mulai bersiap berangkat ke sekolah. Hawa dingin membuat saya malas mandi dan menyentuh air. Saya duduk di dekat tungku api sembari menghangatkan badan dan menunggu air panas untuk mandi. Sayup-sayup mulai terdengar suara radio tetangga,  "Bangun pemudi pemuda, Indonesia,," lagunya saat itu membuat suasana menjadi khusyuk, antara langit yang masih gelap, dingin dan api di tungku yang menyala merah membakar kayu di dalamnya. Sejenak saya hayati lagunya, syahdu sekali walaupun tidak juga membuat saya bangkit mengguyur badan dengan air pagi itu. Rasanya pas sekali lagu itu mengajak bangun, minimal untuk bangun pagi para pemuda pemudi terutama yang mau berangkat sekolah, hehe. Sayangnya, lagu-lagu seperti itu sekarang ini jarang diperdengarkan, mungkin kalah komersil dengan lagu pop, rock, RnB atau lagu-lagu mainstream lainnya. Kalaupun masih ada pasti terbatas hanya pada jam-jam tertentu dan saluran radio atau tv tertentu. Saat itu pun saya berpikir, siapa yang mendengarkan lagu itu di jam subuh, sayang sekali.

Lagu bangun pemudi pemuda saat itu memang tidak mampu membuat saya segera bangkit mandi, tapi sampai saat ini saya mengingat momen mendengarkan lagu itu sangat inspiratif untuk sekedar diceritakan dan dibuat menjadi bahan menulis. Karena, momen mendengarkan lagu itu dengan suasana -yang saat itu- menurut saya mendukung membuat saya bangga menjadi pemudi Indonesia. Entah kenapa rasa nasionalis itu tiba-tiba ada hanya karena mendengarkan lagu dengan khusyuk. Efek bangun tidur mungkin ya..

Dan setelah tujuh tahun berlalu, momen itu yang terpilih untuk menjadi artikel pertama saya mengisi blog ini. Sederhana memang, tapi semoga menjadi komitmen awal untuk menulis. Membaca dan menulis adalah bekal dan salah satu bentuk berkarya.

Terimkasih, telah membaca artikel ini dan ayo mulai menulis :)